Catatan Anak Kampung Eps.01 - Sekolah Baruku

CATATAN ANAK KAMPUNG (Jejak wira)

SEKOLAH BARUKU - #EPS.01 | Jejak Wira

Di pagi buta sungguh dinginnya merasuki tubuh ini, indah dengan embun berhamparan seakan berada di atas awan, sayup-sayup kemerahan sinar matahari pagi yang hendak akan muncul menemani hari yang begitu di tunggu-tunggu. Air yang dingin sudah tak terasa membasahi tubuh seolah memberikan kesegaran, semangat dan harapan baru.

Aku Wira, usia 13 tahun dan sekarang adalah hari pertama Aku masuk di bangku SMP. Hal ini adalah yang membuat Aku harus bangun pagi dengan penuh semangat, sebab masuk di SMP dan memakai sseragam putih biru adalah impian Aku.”

Begitu semangat bergegas menyiapkan buku serta merapikan baju, tak lupa Aku menyisir rambut dengan penuh kegirangan seakan-akan Aku sudah berjalan bersama teman-teman dan belajar di ruangan kelas yang pastinya seru aku harapkan.

Aku mempunyai teman namanya Herman dan Dayat, mereka berdua adalah teman aku sejak masih di bangku Sekolah Dasar.

“Hai Man ?...”, Aku menyapa Herman yang aku temui di jalan.

“Eh… Wira, kita jalan bareng nunggu angkot di sana yuk !!!...”, jawab Herman sambil nujuk warung pinggir jalan dan mengajak Aku yang saat itu duduk depan gang menunggu angkot yang lewat menuju sekolah aku yang baru.

Sekolah aku… di SMP terbilang cukup jauh, bisa di tempuh dengan memakia angkot yang waktu itu ongkosnya Cuma Rp 100,-

Mereka berjalan menuju warung kecil pinggir jalan dan melihat Dayat temannya juga berlari menghampirinya.

“Woiii… Tunggu !!!...”, Dayat memanggil.

“Eh… tu Dayat”, kata Aku kasih tau Herman.

“Ayo… sini kita nunggu angkot disini”, Teriak Aku dan Herman ke arah Dayat.

“Ia tunggu…!!!”, Teriak Dayat yang melihat aku berdua sudah di depan warung.

Kami adalah kawan setianya sejak masih dibangku Sekolah Dasar, sekarang kami bersama lagi untuk melanjutkan sekolah di SMP yang sama.

“Hei… kita nunggu angkot disini aja !!!”, kamu keren juga pakai putih biru. Ledek Aku sambil senyum ke Dayat yang sudah ngos-ngosan lari.

“Iya… Yat, kamu beli dimana?...”, Tanya Herman sambil cubit-cubit baju Dayat.

“Hmmm… di pasarlah masa di sawah, Eh…!!! Tuh angkot kita stop, naik dia aja.!”, Kata Dayat dan sambil nunjuk angkot yang datang.

“Iya iya iya !...”, kata Aku dan Herman serentak.

Kamipun berangkat naik angkot yang kala itu angkot selalu penuh dengan penumpang yang ke pasar, dan kami hanya duduk di atas kap angkot di sela-sela barang-barang. Kami dengan penuh semangat, riang dan kegirangan dengan hari pertama kami masuk di sekolah yang baru.

Kami masih saling ledek di atas angkot, bercanda sesekali meniru kernet angkot yang menawarkan penumpang naik dengan menyebut nama tujuan jurusan angkot yang kami tumpangi. Keriangan kami serasa tak terhenti sepanjang perjalanan, sampai kami sampai dan turun dari angkot.

Disaat kami tiba dan turun dari angkot. Dayat, Aku dan Herman berjalan menuju gerbang sekolah baru kami, seakan tak percaya kalau sekolahnya sekarang sudah di SMP dan memakai seragam putih biru.

“Ternya kita sudah tidak SD lagi ya !?...”, kataku saat itu masih tak menyangka sudah tak di SD lagi.

“Akhirnya SMP juga, !!!”, jawab Herman dan Dayat sambil senyum memandang kea rah muka aku.

Kami masuk gerbang sekolah bersamaan sambil melihat gedung-gedung kelas, serta melihat lapangan halaman sekolah yang dikelilingi gedung yang tak biasa kami lihat di sekolah lama kami. Sesekali kami menyapa anak-anak baru maupun kakak kelas yang lain dengan senyuman yang nantinya akan menjadi teman sekolah kami yang baru.

Terdengar suara lonceng yang terbuat dari besi peleg mobil yang nyaring dengan pukulan tak terhenti, sorak murid dan siswa baru yang lain berkata “kumpul…kumpul…kumpul…!!!”.

Aku, Dayat dan Herman bergabung bersama siswa yang lain berkumpul di lapangan sekolah berbaris dengan rapi sesuai kelas mereka masing-masing. Terik matahari pagi dengan embun yang bersarang dirumput masih terlihat berbintik bola-bola kecil di unjung rerumputan lapangan. Setelah kami mendengarkan arahan dari kepala sekolah, daigikan ruang kelas bagi siswa baru dan kami semua disuruh masuk kelas masing-masing.

Aku dan Herman mendapat ruangan yang sama sedangkan Dayat mendapat ruangan berseblehan.

“Kita duduk di bangku sama yan man?...”, kata Aku.

“Oke !!!”, jawab Herman.

“Dayat di sebelah ruangan kita ya?....”, lanjut tanya Herman.

“Dayat masuk kelas IX-4”. Jawabku.

Suasan kelas begitu riang di hari pertama mereka di kelas, mereka belajar dengan semangat dan penuh kegembiraan.

Aku merupakan anak yang miskin, Bapak dan Ibun hanya seorang buruh tani. Keperluan hidup sehari-hari dan sekolah, kami hanya mengandal upah memanen ubi di ladang tetangga. Penghasilan kami sekeluarga hanya cukup sekedar bisa makan sehari-hari, sedangkan Ibu Aku berjualan kue keliling yang terkadang aku ikut berjualan sepulang sekolah.

Bapak yang selalu bekerja dikebun milik tetanga berusaha mendapatkan upah untuk biaya sehri-hari, di siang itu panen terakhir di kebun karena tanaman ubi sudah habis. Keringat membasahi tubuhnya yang bekerja membuat semangat saya untuk bersekolah dan berharap nanti bisa membahagiakan mereka.

Bapakpun berangkat pulang dengan membawa upah panen dan beberapa ubi yang dikasih pemilik kebun, sedangkan dirumah Ibu aku sedang menyiapkan kue untuk dijual sore hari.

“Assalamu’alaikum… Bu… ini ada Ubi”, Kata Bapak yang pulang dari kebun penuh keringat dan sedikit kehausan.

“Walaikum salam… dikasih ya?...”, saut Ibu sambil ambil Ubi yang dibawa Bapak.

“Wira belum pulang sekolah bu”, Tanya Bapak sambil ngipasin diri paakai topi kerjanya.

“Belum pak, sebentar lagi pasti pulang. Tuh udah azan zuhur, mungkin masih di perjalanan”, jawab Ibu sambil menyuguhkan air minum dan haduk mandinya Bapak.

Tak lama setelah selesai menyegarkan dahaganya, Bapak berangkat ke pergi mandi ke telaga masjid sambil sholat zuhur disana.

Oh ya… setelah saya belajar, bermain dan banyak hal yang aku lakukan di hari pertamaku di sekolah baru. Aku dan teman-teman, Dayat dan herman seperti biasa seperti masih di Sekolah Dasar, kami pulang bereng.

Seperti biasa saat berangkat sekolah tadi pagi, angkot yang penuh dengan penumpang dan barangpun menghiasi keseruan kami pulang sekolah. Walau panas terik matahari seakan membakar kami di atas kap angkot meramui harapan-harapan kami sebagai anak kampung untuk bisa menggapai cita-cita membahagiakan keluarga.

Akhirnya kami bertiga sampai dan turun dari angkot, membayar ongkor dengan koin Rp 100,- dan kami masing-masing pulang kerumah.

Dayat dan Herman sudah tidak sabar sampai di rumah, mereka berlari seakan menghidari panas teriknya matahari saat itu.

“Nanti sore kita ketemu”, kata Dayat sambil mandang aku.

“Nanti aku main kerumah kamu”, tambah Herman sambil berlari ngatain aku.

“Okeee…”, jawabku sambil berlari juga.

Ibu yang sudah menunggu saya pulang sekolah dirumah menyiapkan makan siang untuk Bapak dan Aku, mereka adalah pahlawan yang tidak bisa tergantikan bagiku.

“Assalamu’alaikum… wira pulang bu”, salamku sambil nengok Ibu lewat jendela.

“Walaikumsalam”, jawab Ibu terdengar di dapur.

Aku langsung masuk dan mengganti baju, melihat Ibu sedang menyiapkan makan siang untuk kami.

“Bu… Bapak masih di Kebun?...”, Tanyaku sambil ganti baju di dalam kamar.

“Bapakmu udah pulang, sedang mandi sambil sholat di masjid”, jawab ibu dengan nada pelan.

“Wira sholat dulu ya Bu, sekalian nunggu Bapak pulang”. Kasih tahu Ibu yang sibuk di dapur.

Aku terkadang sangat tak tega melihat Ibu dan Bapak untuk bekerja keras demi menyekolahkanku, mereka berdua rela tidak pernah berhenti untuk bekerja mencari cara agar aku bisa menempuh pendidikan tinggi. Tidak banyak yang aku bisa lakukan untuk membantu meringankan beban keluarga, hanya berharap suatu saat nanti aku bisa membahagiakan mereka berdua.

Tak jarang air mataku menetes dalam do’a kepada sang pencipta yang kupanjatkan selepas melaksanakan sholat, berharap tuhan bisa memberikan kesempatan untuk membahagiakan mereka berdua.

Tak lama setelah selesai aku berdo’a, aku mendengar Bapak pulang dari masjid dan menanyakan aku kepada Ibu.

“Bu… Wira sudah pulang sekolah?...”, tanya Bapak yang baru sampai rumah pulang dari masjid.

“iya…pak. Wira di dalam sedang sholat’. Jawab Ibu yang sudah menunggu dan menyajikan makanan.

Akupun beranjak keluar kamar menemui Ibu dan memanggil bapak untuk makan siang bersama.

“Bu… Wah makan siap sudah siap, pasti enak masakan Ibu”, sapa aku ke Ibu sambil senyum melihat Ibu yang bahagia melihat aku senang.

“Panggil Bapakmu, makan bersama…”, Jawab Ibu dengan senyum ke arahku.

“Pak…Pak… Ayo makan, dipanggil Ibu”, kataku panggil Bapak yang masih diluar duduk sambil bersihin cangkul.

Bapak adalah orang yang sabar dan tidak banyak bicara, akan tetapi sesekali menghibur aku dengan candaanya serta cerita-cerita pengalaman kecilnya.

Bapakpun datang menghapiri kami, dan duduk didekat aku mengeluskan kepala ku sambil menanyakan hari pertamaku sekolah tadi.

“Gimana sekolah kamu  tadi?..”, kata Bapak.

“Alhamdulillah pak, Wira seneng banyak temen juga”, jawab aku.

“jangan nakal ya… rajin-raji belajar”, Saut Ibu sambil makan.

“Kamu harus jadi orang yang berguna kelak nak, jangan pernah putus sekolah, Bapak dan Ibu berharap kamu jadi orang sukses”, Kata Bapak menasihatiku.

“Iya pak, Wira janji sama Bapak dan IBu, Wira akan bahagiakan Bapak dan Ibu”, jawabku sambil nyuapin masakan Ibu yang enak.

Kami makan bersama, menyantap masakan Ibu kala itu memasak masakan kesukaanku, sesekali Bapak nyuapin makanan ke mulutku sambil berkata supaya aku makan banyak dan cepat besar dan jadi orang sukses kelak.

Aku, Bapak dan Ibu sangat menikmati makanan sederhana itu dan menikmati kebersamaan dengan mimpi-mimpi kami sekeluaga. Rasa bahagia dalam keahangat keluarga yang tak pernah akan aku lupakan.

 

======Continue to Eps.02=====

BERJUALAN KUE - #EPS.02 | Jejak Wira

Comments