Faktor Mempengaruhi Tradisi Pernaskahan di Lombok

Faktor Mempengaruhi Tradisi Pernaskahan di Lombok

Bersamaan dengan tampilnya Selaparang sebagai kota pusat kerajaan, maka beberapa tempat juga muncul sebagai kota-kota kerajaan seperti Sokong, Bayan, Pejanggik, Langko, Suradadi, dan Parwa, yang kalaupun mereka mengakui supremasi kerajaan Selaparang, kerajaan-kerajaan tersebut memiliki otonomi untuk menjalankan pemerintahannya sendiri.

Keberhasilannya dalam bidang ekonomi melalui pertanian dan perdagangan, telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dua hal yang harus sejalan beriringan, antara keberhasilan di bidang ekonomi dengan berkembangnya peradaban. Keberhasilan ekonomi akan menjadi penentu bagi keberhasilan dalam pembangunan peradaban, demikian juga sebaliknya dengan peradaban perekonomian akan dapat dipertahankan, dan distabilkan.

Naskah-naskah sasak

Besarnya perhatian Istana terhadap peradaban di Lombok ikut menentukan pertumbuhan dan perkembangannya, khususnya di pusat-pusat kota. Namun demikian, peran Islam sebagai agama yang berperadaban juga tidak dapat dilepaskan di dalamnya, yang oleh kebanyakan peneliti tentang Lombok sering “dilupakan”. Islam hadir di muka bumi dengan membawa peradaban. Maka kehadirannya di Lombok pun dengan membawa peradaban.

Perkembangan peradaban Islam di pulau Lombok ditandai dengan banyaknya ditemukan karya-karya intelektual muslim, khususnya karyakarya mereka pada masa kejayaan Islam di Gumi Sasak. Masa kejayaan Islam di pulau Lombok dimulai dari sejak masuknya Islam di daerah ini, pada awal abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18.

Dengan ditemukan beberapa karya intelektual yang isi ceritanya diislamkan. Di masyarakat Sasak berkembang cerita dengan tokoh Dewi Anjani, cerita ini sangat mirip dengan cerita Ramayana. Kehadiran Islam di Lombok memberikan nuansa baru bagi perkembangan tradisi tulis di masyarakat Sasak. Karya-karya yang dihasilkan pada umumnya telah dimulai dari abad ke-16 di pusat-pusat kota kerajaan dan di kota-kota muslim lainnya. Berkembangnya budaya tulis dalam masyarakat Sasak tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor yang mempengaruhinya.

Pertama, kehadiran Islam sebagai sebuah ajaran, Islam adalah agama yang kaya akan ajaran-ajaran agama dan budaya yang tidak mungkin dapat ditransformasikan hanya dengan tradisi lisan. Ditambah lagi keharusan untuk menyampaikan dan disebarkannya kepada masyarakat.

Kedua, adanya dukungan yang kuat kalangan Istana. Istana memfasilitasi segala kegiatan kaitannya dengan penulisan karya intelektual muslim ketika itu. Karya-karya mereka banyak yang bertemakan sejarah politik dan budaya, banyak ditulis di pusat-pusat kerajaan Islam pada waktu itu. Antara lain yang dapat dikemukakan, seperti Babad Lombok. naskahnya yang terakhir ditemukan berangka tahun, 1301 H, atau 1883 M. Babad ini ditulis untuk pertama kalinya jauh lebih awal dari tahun tersebut, boleh jadi babad tersebut telah ditulis pada masa kejayaan kerajaan Islam. Jadi penulis terakhir kemungkinan melakukan salinan-salinan, yang kemudian menambah data-data yang belum ada dalam babad tersebut. Babad Lombok, terdiri dari dua bagian ada Babad Lombok 1 dan Babad Lombok 2. selain itu ada juga Babad Selaparang, Babad Suwung, Babad Praya, Babad Sakra, yang semuanya merupakan sejarah politik di Lombok. Selain tentang sejarah politik, ada naskah Kotaragama sebuah kitab undang-undang negara. Di dalamnya berisi tentang aturan-aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang harus ditaati oleh semua pihak, baik itu oleh raja sebagai pemimpin negara, maupun oleh rakyat sebagai abdi negara. Di pusat kerajaan juga banyak penulis yang menulis tentang agama dan lain sebagainya.

Faktor yang ketiga adalah, faktor budaya. Faktor budaya memegang peranan penting terhadap banyaknya karya-karya intelektual muslim di Lombok. Di kalangan masyarakat Sasak membaca naskah-naskah lontar sudah menjadi tradisi, dan dikenal luas oleh masyarakat Sasak. Tradisi membaca naskah lontar dalam masyarakat Sasak disebut pepaosan. Naskah-naskah dibaca dengan menggunakan lagu-lagu (ditembangkan). Ada enam tembang yang cukup populer dikenal di kalangan masyarakat Sasak, yaitu Durma, Sinom, Smarandana, Pangkur, Dangdang (Dangdang Gula), dan Mas Kumambang. Namun demikian dalam membaca kitab Serat Menak (Jawa) mengenal pula tembangtembang seperti Kinanti, Girisa, dan Pucung.



Selain tradisi pepaosan, juga dikenal Tradisi pembacaan hikayat,
tradisi ini dikenal dengan istilah bakayat. Naskah yang dibaca adalah
hikayat-hikayat seperti hikayat Nabi-nabi (Qisas Al-Ambiya’), Qamar al Zamān, Nabi bercukur, Ali Hanafīyah (Yazīd), dan lain sebagainya. Pembacaan hikayat ini disertai dengan lagu (istilah Sasak: kayat).

Kayat Sasak sangat mirip dengan lagu hikayat yang berkembang di Melayu. Pembacaan hikayat ini juga membutuhkan penterjemah dan pendukung. Pembacaan hikayat Melayu dalam bentuk sya’ir disebut nya’ir. Kitab sya’ir yang terkenal di antaranya adalah Siti Zubaīdah, Sa’īr Kubur, dan Qamar al Zamān. Tradisi pembacaan naskah yaitu Pepaosan, Bakayat, dan saer, merupakan kegiatan yang erat kaitannya dengan upacara adat dan keagamaan. Pembacaan naskah-naskah tersebut biasanya diadakan pada setiap malam jumat, atau pada perayaan-perayaan acara-acara seperti, acara pernikahan, khitanan anak, pembacaanya biasa diadakan di malam hari.

Di samping itu ada juga naskah yang dibacakan dengan tujuan pengobatan (sympatetic-megic). Misalnya Kawitan Selandir (lontar), dibacakan untuk anak yang belum dapat berjalan. Indar Jaya (lontar) dibacakan untuk anak yang sulit berbicara. Indrabangsawan (Jawi) untuk anak yang dungu, dan yang lainnya di mana hal ini kadang hanya berbentuk kepercayaan satu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu.

Demikian pentingnya naskah-naskah dalam kehidupan masyarakat Sasak, sehingga tidaklah mengherankan kalau hampir pada setiap kampung dapat ditemukan naskah-naskah. Pada umumnya naskahnaskah yang banyak tersebar di masyarakat adalah naskah-naskah yang ada hubungannya dengan upacara-upacara tersebut.

Secara umum naskah-naskah yang berkembang di masyarakat Sasak, banyak yang tidak diketahui penulisnya karena sebagian besar naskah-naskah jarang ditemukan nama-nama penulisnya. Dari hasil penelusuran saya selama ini saya menemukan sebagian besar naskahnaskah yang berkembang di masyarakat Sasak, secara berurutan yaitu; pertama, naskah yang ditulis dengan hurup Jejawen (termasuk juga naskah Bali). Naskah-naskah yang ditulis dengan hurup Jejawan ada kalanya yang berbentuk salinan seperti Jatiswara, Dalang Jati, Puspakrame, Rengganis. Ada berbentuk tulisan (dari cerita oral ke tulisan) seperti, Doyan Neda, Cupak Gerantang, dan Lobangkara. Ada yang berbentuk saduran seperti Tapel Adam, Nabi Yusuf, Nabi Ibrahim, Mi’raj Nabi, dan cerita-cerita Menak. Cerita yang disadur dari cerita Menak (Jawa) terdapat berbagai judul antara lain, Banyurung, Kendit Birayung, Kabar Sundari, Gentur Bumi, Pedang Kemkem, dan lain sebagainya. Sedangkan naskah yang berbentuk karangan seperti Silsilah Batu Dendeng, Silsilah Rembitan, Babad Selaparang, Pengeling-eling, Mantra, Obat-obat tradisional, dan sebagainya.

Kedua, naskah yang ditulis dengan mengunakan hurup Arab. Naskah-naskah yang ditulis menggunakan huruf Arab kebanyakan menggunakan alas kertas, baik itu kertas Eropa maupun kertas Deluang. Karya dalam kelompok ini kebanyakan berupa salinan atau turunan dari kitab-kitab yang sudah ada seperti kitab suci al-Qur’an, Perukunan, Sifat dua puluh, Mujarrobat, dan semacamnya.

Naskah-naskah Sasak di pulau Lombok yang berbentuk saduran banyak ditemukan. Karya-karya saduran tersebut babonnya ada yang yang berhuruf Jawi (Arab Melayu) dan ada pula yang berhuruf Jawa. Cerita-cerita tersebut kemudian dialihkan dengan mengunakan huruf Jejawan. Adapun bahasa yang dipakai adalah bahasa Kawi atau bahasa Sasak serta pada umumnya ditulis di atas daun Lontar. Dalam proses penyadurannya terkadang tidak dilakukan secara utuh. Ada yang judulnya yang tetap dan ada pula yang berubah. Bahkan isi sering mengalami pengurangan atau penambahan disesuaikan dengan kondisi masyarakat tempat penyaduran itu dilakukan.

Baca Juga :

Dalam beberapa kasus berbeda dengan temuan-temuan di lapangan, sulit dibedakan mana yang merupakan salinan dan mana yang merupakan karangan. Sebagai contoh misalnya naskah-naskah fiqh, naskah-naskah fiqh ini agak sedikit sulit dibedakan apakah ia merupakan salinan atau karangan. Karena pembahasan hampir sama, bab bersuci, salat, atau lainnya semua sama pembicaraannya. Selanjutnya untuk membedakan mana yang salinan dan yang bukan salinan tidak mudah. Memang dalam tradisi Islam, penyalinan atau mengarang beda tipis, karena harus mengikuti paham mazhab. Bagi pengikut mazhab Syafi’I harus sama dengan imam-imam pendahulunya, tidak boleh berbeda. Biasanya penulis belakangan memberikan penjelasan atau syarah terhadap isi kitab sebelumnya.

Di pulau Lombok ditemukan tidak kurang dari 2000-an, hasil karya intelektual Sasak, baik itu salinan maupun tulisan. Sekarang ini yang dikoleksi oleh Museum Negeri NTB tidak kurang dari 1250-an buah, dan sekitar 800-an yang tersebar di luar pulau Lombok, baik itu yang dikoleksi oleh museum-museum di Nusantara maupun di Luar Negeri. Di Belanda merupakan tempat naskah Lombok paling banyak disimpan, di mana pada waktu penaklukan Lombok oleh Belanda pada tahun 1894 sampai akhir penjajahannya 1942, tidak kurang dari 600- an naskah yang dibawa ke Belanda. Menurut perkiraan yang dapat dikumpulkan sekarang adalah sebagian dari jumlah naskah yang ada. Jadi yang masih tersebar di masyarakat kuat dugaan lebih banyak dari yang dikoleksi oleh museum tersebut.

Perkembangan agama Islam dan peradaban Islam sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik kerajaan Islam di pulau Lombok. Ketika kerajaan-kerajaan Islam di Lombok menunjukkan kemajuannya, maka Islam berkembang dengan pesatnya, dan peradaban Islam demikian majunya.

Sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, merupakan masa kejayaan kerajaan Islam di Lombok, perkembangan Islam dan kemajuan pradaban Islam demikian pesatnya. Pusat perkembangannya berada di Kota-kota Muslim, yaitu di bagian Timur (seluruh wilayah Selaparang), tengah (kerajaan Pejanggik), dan utara (Bayan) dan sebagian kecil di barat daya. Pada awal abad ke-18, pusat kota kerajaan Penjanggik dapat diduduki oleh pasukan sekutu, Karang Asem Bali-Banjar Getas, yaitu setelah terjadi pertempuran yang sengit antara Pejanggik dengan Sekutu. Kekalahan Pejanggik dan beberapa kerajaan kecil lainnya di Lombok Tengah, telah mengakibatkan surutnya perkembangan Islam dan pradaban Islam di Lombok Tengah. Banyaknya tentara Pejanggik dan kerajaan-kerajaan kecil di Lombok tengah yang gugur dalam melawan pasukan Bali-Banjar Getas, memaksa Pejanggik untuk meninggalkan markas besarnya di Lombok Tengah, ada yang menyeberangi laut ke Sumbawa dan ada yang tetap bertahan di Lombok, yang kemudian mengkonsolidasikan kekuatannya di Sakra.

Sakra inilah yang kemudian tetap berusaha untuk tetap eksis menjadi transformator tradisi intelektual muslim kepada generasi Sasak dikemudian hari. Seiring dengan perpindahan Pejanggik ke arah timur, di Lombok Tengah berdiri kerajaan Banjar Getas. Kalaupun kerajaan ini lahir dari sebuah konspirasi politik dengan raja Bali-Karang Asem namun dalam perkembangannya Banjar Getas juga memiliki sumbangan yang tidak kecil bagi perkembangan Islam di Lombok Tengah.

Pada pertengahan abad ke-18, dengan runtuhnya Selaparang, maka di bagian timur terjadi penyebaran dan pemerataan peradaban. Sebelumnya berpusat di Selaparang, dengan hancurnya Selaparang maka transformasi intelektual tidak lagi terjadi di pusat pemerintahan, melainkan menyebar ke desa-desa, mereka membentuk perkampungan masing-masing dalam suatu komunitas yang lebih kecil. Jadi setelah kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik runtuh, maka yang melanjutkan tradisi atau yang menjadi jembatan transmisi intelektual adalah mereka yang berada di bagian tengah dan timur, namun dalam komunitas-komunitas yang terbatas. Karena kondisi perpolitikan yang tidak kondusif, dan negara yang tidak stabil maka proses transformasi intelektual tidak berjalan secara sempurna.

Sumber : Jurnal Manasa, Manuskripta Vol 2/2012

Comments